LAMPUNG SELATAN kompas86id.com – Diam-diam fenomena pelaksanaan kegiatan pengadaan barang dan jasa (PBJ) dengan skema swakelola mulai merambah Lampung Selatan. Betapa tidak, untuk tahun 2025 ini saja Dinas PUPR setempat mengalokasikan 5 kegiatan jasa konstruksi dengan pelaksanaan secara swakelola tipe 1 senilai Rp15,8 M.
Disamping itu, PUPR juga telah menyiapkan 8 paket proyek dengan pelaksanaan secara swakelola tipe 4, yaitu baik usulan, perencanaan, pengawasan hingga pelaksanaan dilakukan oleh pokmas dan untuk pokmas dengan total nilai pagu anggaran kegiatan mencapai Rp1,050 M.
Sedangkan pada tahun lalu, pelaksanaan kegiatan konstruksi secara swakelola tipe 1 oleh Dinas PUPR tercover dalam kegiatan Penanganan Long Segment di Kecamatan Natar dengan nilai Rp4,1 M pada APBD Perubahan Lampung Selatan 2024.
Untuk sekadar diketahui, Swakelola Tipe I, yakni seluruh proses mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan dilakukan langsung oleh perangkat daerah. Dalam hal ini adalah Dinas PUPR. Sedangkan swakelola tipe 4, yaitu baik usulan maupun pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh kelompok masyarakat (Pokmas).
Kepala Bidang Bina Marga Dinas PUPR setempat, Hasannudin ST dikonfirmasi tak menampik bahwa sejumlah kegiatan konstruksi tersebut memang dilaksanakan dengan cara swakelola sesuai dengan kriteria tipenya masing-masing.
Hasanuddin mengatakan, pelaksanaan kegiatan dengan skema swakelola ini merupakan salah satu bentuk aplikasi nyata penyelenggaraan oleh pemerintah daerah yang lebih efektif dan efisien, baik dari segi anggaran maupun waktu dengan percepatan pelaksanaan kegiatan dan juga sebagai upaya dalam peningkatan partisipasi oleh masyarakat dalam pembangunan.
Menurut dia, dasar hukum pelaksanaan pengadaan barang dan jasa (PBJ) secara swakelola telah diatur dalam Perpres 16 tahun 2018 tentang PBJ dan Peraturan Lembaga LKPP Nomor 3 Tahun 2021 Tentang Pedoman Swakelola.
Pelaksanaan kegiatan pemerintah dengan swakelola, sambung Hassanudin, meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, penyerahan, pelaporan dan pertanggungjawaban pekerjaan.
“Sesuai ketentuan, penyelenggara swakelola terdiri atas tim persiapan, tim pelaksana, dan tim pengawas yang ditetapkan oleh pengguna anggaran atau kuasa pengguna anggaran melalui surat keputusan,” ujar Hassanudin saat dihubungi melalui sambungan telepon aplikasi perpesanan WhatsApp, Selasa 17 Juni 2025.
Tim persiapan, terus Hasanuddin, mempunyai tugas menyusun rencana kegiatan, jadwal pelaksanaan, dan rencana biaya. Sedangkan tim pelaksana mempunyai tugas melaksanakan, mencatat, mengeluarkan, dan melaporkan secara berkala kinerja pelaksanaan kegiatan dan penyerapan anggaran.
“Untuk tim pengawas memiliki tugas mengawasi persiapan dan pelaksanaan fisik maupun administrasi swakelola,” imbuhnya seraya mengatakan ada 3 pelaksanaan dalam skema swakelola, yakni dilaksanakan oleh instansi penanggung jawab, instansi lain serta pelaksanaan oleh pokmas.
Terpisah, Ketua LSM Pro Rakyat, Aqrobin AM saat dimintai pendapatnya terkait dengan mulai maraknya kegiatan proyek pemerintah yang dilaksanakan secara swakelola oleh dinas instansi setempat di daerah, Aqrobin menyatakan penolakannya. Terlebih pada kegiatan jasa konstruksi.
Dikatakan mantan Ketua Asosiasi Kontraktor Umum Indonesia (ASKUMINDO) Lampung Selatan ini, meski pelaksanaan kegiatan secara swakelola memiliki payung hukum, baik itu berupa peraturan presiden maupun peraturan lembaga LKPP, namun untuk pelaksanaan kegiatan jasa konstruksi secara swakelola bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi, yaitu UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
“Pelaksanaan kegiatan konstruksi secara swakelola ini dijalankan oleh satker seakan-akan legal dan lumrah untuk dilakukan. Padahal justru bertentangan dengan kerangka hukum sektor konstruksi yang bersifat mengikat. Bukan hanya melanggar prinsip profesionalisme yang diatur undang-undang, tetapi juga membuka potensi pelanggaran hukum yang lebih serius,” ujar warga Kecamatan Rajabasa ini.
Aqrobin berpendapat, filosofi yang terkandung dalam UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi bukan sekadar instrumen hukum yang bersifat administratif. UU ini, terus Aqrobin, dibangun di atas asas tanggung jawab, keahlian, dan perlindungan keselamatan publik. Dalam setiap pembangunan infrastruktur, yang dipertaruhkan bukan hanya keuangan negara, tetapi nyawa manusia dan integritas lingkungan hidup.
“Karena itulah, UU Jasa Konstruksi mewajibkan penyedia jasa memiliki sertifikasi badan usaha dan tenaga ahli. Tujuannya bukan sekadar administratif, tetapi untuk menjamin bahwa setiap pekerjaan konstruksi dilakukan oleh pihak yang memiliki kompetensi profesional dan pertanggungjawaban hukum yang jelas,” tukasnya.
Aqrobin berpendapat, baik itu peraturan presiden maupun peraturan lembaga LKPP yang notabene dijadikan sebagai pedoman teknis dalam pelaksanaan kegiatan konstruksi secara swakelola, mestinya tidak mengkhianati hirarki hukum diatasnya.
“UU jasa konstruksi mengatur dengan tegas bahwa pekerjaan konstruksi mencakup seluruh rangkaian kegiatan, seperti perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan yang dilakukan oleh badan usaha bersertifikat dan tenaga ahli profesional. Tidak ada satu pun pasal dalam UU nomor 2 ini yang mengakui entitas non-profesional seperti kelompok masyarakat, organisasi kemasyarakatan, atau perangkat daerah non-penyedia sebagai pelaksana konstruksi,” sergah Aqrobin.
“Dalam sistem hukum konstruksi Indonesia, hanya badan usaha bersertifikat dan tenaga ahli bersertifikasi yang dapat menjadi penyedia jasa konstruksi. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 70 UU Nomor 2 Tahun 2017 yang memuat kewajiban sertifikasi badan usaha dan individu pelaku konstruksi,” sambung dia.
Dengan demikian, masih kata Aqrobin, entitas seperti dinas atau instansi pemerintah (meskipun punya anggaran dan SDM), unit pelaksana teknis internal,
organisasi kemasyarakatan (ormas), pokmas atau perangkat desa, tidak dapat dianggap sebagai pelaksana jasa konstruksi yang sah menurut hukum.
“Mereka bukan badan usaha jasa konstruksi, tidak memiliki SBU dan tidak tunduk pada sistem pertanggung jawaban hukum profesional yang diatur UU. Jika entitas tersebut tetap melaksanakan pekerjaan konstruksi, maka pekerjaan tersebut melanggar hukum konstruksi dan dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum dalam pengelolaan keuangan negara. Karena swakelola tidak diakui dalam hukum konstruksi,” tuturnya
Lebih jauh lagi, dikemukakan Aqrobin jika pekerjaan konstruksi tersebut dibiayai dari keuangan negara namun dilakukan di luar kerangka hukum sektor konstruksi, maka praktik tersebut dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara.
“Ini membuka pintu pada pertanggung jawaban pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pelanggaran ini bukan sekadar persoalan administratif, tetapi menyangkut potensi sanksi pidana terhadap pelaksana teknis maupun pejabat yang menyetujui dan melaksanakan kegiatan tersebut,” ucapnya.
Konstruksi kata Aqrobin, bukan sekadar aktivitas fisik, tapi pekerjaan yang memiliki standar teknis, risiko keselamatan, dan nilai kontraktual yang tinggi. Dengan membuka ruang swakelola tanpa batas yang jelas, regulasi tersebut tidak hanya lalai secara hukum, tapi juga menciptakan ilusi legalitas atas praktik yang pada dasarnya melanggar UU.
Ketidakharmonisan antara Undang-Undang, Perpres, dan Peraturan LKPP menciptakan ketidakpastian hukum dalam proses pemeriksaan keuangan oleh auditor seperti BPK, Inspektorat, maupun APH. Auditor lanjutnya, sering kali menggunakan perpres atau peraturan LKPP sebagai dasar pemeriksaan administratif tanpa merujuk pada ketentuan substantif dalam UU Jasa Konstruksi.
“Akibatnya, praktek swakelola konstruksi bisa saja lolos dalam audit administratif, tetapi kemudian bisa saja dipersoalkan secara pidana karena melanggar norma hukum lex specialis. Ini menciptakan ruang multitafsir yang sangat berbahaya. Pelaksana dianggap sah menurut auditor, tapi dianggap melanggar hukum oleh penyidik atau jaksa. Ini berarti terdapat risiko jebakan hukum bagi pelaksana dan pengguna anggaran yang tidak disebabkan oleh niat jahat, melainkan oleh ambiguitas dan inkonsistensi kebijakan yang dibiarkan tanpa koreksi,” pungkas Aqrobin.
(*)