Aceh singkil-MediaKompas86.com
Penjabat Bupati Aceh Singkil, Azmi, mengatakan terbitnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, meganggu penanganan konflik buaya di daerah setempat. Kendala utama yang dihadapi adalah ketidakjelasan kewenangan penanganan konflik.
Azmi menjelaskan perubahan tersebut juga mengalihkan kewenangan penanganan konflik buaya dan interaksi antara manusia atau nelayan dengan buaya dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
“Artinya penanganan konservasi buaya dan konflik dengan manusia atau nelayan di perairan, pulau-pulau kecil, serta sungai tidak lagi menjadi kewenangan BKSDA,” kata Azmi, Sabtu, 1 Februari 2025.
Azmi menilai perubahan kewenangan ini menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat. Terutama pemangku kepentingan terkait, mengenai lembaga yang seharusnya bertanggung jawab menangani konflik buaya. Hingga saat ini, kata dia, petunjuk teknis atau peraturan turunan dari UU tersebut belum ada, sehingga penanganan konflik masih berada di tingkat pemerintah pusat.
“Kami sudah beberapa kali mengajukan permohonan, seperti untuk penangkaran atau pengurangan populasi buaya melalui penangkapan, tetapi belum ada tanggapan. Bahkan, izin untuk menembak buaya secara ekstrem pun tidak diberikan. Bagaimana kami bisa menangani jika kewenangan kami tidak ada? Kalau kami bertindak sembarangan, tantangannya adalah pidana,” ujar Azmi.
Saat ini, Azmi mengupayakan agar Kepala Dinas Perikanan Aceh Singkil menyurati Penjabat Gubernur Aceh untuk meminta langkah-langkah perlindungan bagi masyarakat. Menurutnya, masalah ini tidak hanya terjadi di Aceh Singkil, tetapi juga di kabupaten dan kota lain di Aceh.
“Kami meminta program perlindungan masyarakat yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah,” ucapnya.(DS. Zendrato)