Aksara Sunda,Antara Eksis atau Mati dan Tenggelam

Aksara Sunda,Antara Eksis atau Mati dan Tenggelam

Bagikan artikel ini

Bandung Jabar-mediakompas86.com

Suatu ketika satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan seorang anak perempuan sekira usia kelas 3 SD melewati jalan Diponegoro di kota Bandung. Ketika melihat papan penunjuk jalan, anak perempuan itu bertanya kepada ayahnya, ”Pah, kalau itu yang dibawah tulisan jalan diponegoro dibacanya apa ?”. Sang ayah tertegun sejenak melihat ke papan penunjuk jalan yang ditunjuk anaknya. Bertahun-tahun melewati jalan Diponegoro, baru kali ini sang ayah memperhatikan papan penunjuk jalan itu, dan pada papan penunjuk jalan itu tampak aksara mirip seperti aksara negara Thailand atau Kamboja.

 

Setelah tertegun sejenak, sang ayah berkata ”ayah tidak tahu tulisan itu, tapi nampaknya bila dibaca bunyinya sama dengan bunyi Jalan Diponegoro pada tulisan alfabetnya”. Setelah menjawab pertanyaan anak perempuannya, sang ayah bertanya-tanya, sebenarnya untuk apa tulisan itu dipasang pada papan penunjuk jalan.

 

Kisah di atas adalah kisah nyata yang dialami oleh seorang warga kota Bandung yang lahir di kota Bandung, besar di Bandung dan bersekolah dari mulai pendidikan dasar hingga jenjang kuliah di kota Bandung. Menurut penuturannya, setelah peristiwa ditanyai oleh anaknya, samar-samar dia ingat pernah dapat pelajaran menulis aksara hanacaraka yang tampak seperti tulisan pada beberapa papan penunjuk jalan itu di waktu SD atau SMP, namun kemudian dia lupa.

Apakah tujuan pemasangan aksara sunda di papan penunjuk jalan ? Kalau banyak yang tidak tahu mengenai aksara sunda, apakah pemasangannya bukan hal yang sia-sia ? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, tim Media Purna Polri meminta pendapat dari tokoh budaya Irjen. Pol. (Purn.) Dr. Drs. H. Anton Charliyan, M.P.K.N., yang juga dikenal sebagai Abah Anton.

 

 

Menurut Abah Anton, pemasangan aksara sunda di papan penunjuk jalan merupakan sebuah upaya yang bagus karena tak kenal maka tak sayang. “Jadi biarin aja, itu merupakan satu sosialisasi, kayak kita lihat di Jepang, hampir semua jalan-jalan ditulis dengan huruf kanji, di Tiongkok dengan huruf Chinese, di Arab dengan huruf Arab, dan di Sunda juga harus dengan huruf Sunda”, ujar Abah.

Menjawab pertanyaan apakah sia-sia memasang aksara sunda di papan jalan, “Saya kira tidak sia-sia. Justru kalau tidak dikenalkan akan jadi mati dan tenggelam. Bagaimana orang tahu kalau tidak dikenalkan. Buktinya itu kan, karena dipasang ada yang menanyakan”, jawab Abah.

 

 

Lebih lanjut, Abah Anton menjelaskan bahwa aksara sunda itu bukan hanacaraka, tapi “kaganga ngalagena”. Kaganga ini ditemukan sebagai huruf sunda asli di Astana Gede Kawali yang tertulis di dalam prasasti Kawali yang menceritakan Prabu Wastukancana membuat parit mengelilingi kota Kawali.

Ketika ditanya mengenai langkah-langkah untuk melestarikan aksara sunda, Abah Anton menyampaikan pesan bahwa langkah pertamanya adalah setiap individu harus ditumbuhkan pemahaman tentang puncak kebudayaan. “Aksara itu merupakan puncak kebudayaan, jadi maaf, puncak budaya itu bukan tari jaipongan, atau alat musik angklung, sekali lagi maaf, justru puncak budaya itu adalah aksara, karena dengan aksara kita bisa mengidentifikasi, bisa menulis, bisa menyimpan sejarah, pengalaman, nama-nama nenek moyang, kejayaan, juga tentang kepahitan-kepahitan di dalam sejarah masing-masing. Kalau tidak punya aksara, bagaimana bisa menuliskannya”.

 

“Di Indonesia ada sekitar 1.100 suku, tapi yang punya aksara tidak sampai 20 suku. Kalau punya aksara, itu menunjukkan berarti peradaban sudah tinggi. Di era globalisasi saat ini, pelestarian kebudayaan merupakan agenda yang sangat penting. Setiap unsur masyarakat harus secara intens dan aktif dilibatkan untuk melestarikan budayanya, sehingga bukan hanya suku Sunda saja tapi setiap suku di seluruh Nusantara yang punya aksara seperti Lampung, Jawa, Bali, Makasar, Batak, Papua dan lain-lain wajib melestarikan aksara daerahnya masing-masing, karena harus kita sadari bersama bahwa AKSARA sesungguhnya merupakan puncak budaya dari suku bangsa tersebut sesuai tradisinya masing-masing”, pungkas Abah.

Di tengah pengaruh global, aksara sunda menghadapi tantangan antara eksis atau mati dan tenggelam. Masyarakat pada umumnya dan khususnya orang-orang sunda harus selalu menghargai aksara sunda, sehingga aksara yang telah ada tidak hilang dan dapat diwariskan kepada generasi mendatang.

 

Burhan.