Matinya Kepakaran Oleh : Febri Trifanda

Bagikan artikel ini

Ketua Umum BPL HMI Cabang Bukittinggi 2022/2023

Bukttinggi (Sumbar) mediakompas86.com– Kita hidup di zaman yang disebut oleh Tom Nichols sebagai “the death of expertise”. Pakar menurutnya adalah spesialisasi pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu. Dengan kehadiran internet yang cukup masif dalam memproduksi informasi, kita seringkali terjebak terhadap bias informasi. Tanpa pandang bulu, kita semua menjadi korban ulah naluri instingtif kita yang cenderung mempercayai sesuatu secara mudah tanpa adanya konfirmasi terlebih dahulu.

Memang tak ada salahnya ketika kita katakan bahwa dengan hadirnya internet beserta platform-platform yang disuguhkan kepada kita telah menjembatani banyak orang dalam mengakses suatu informasi. Tapi tidak semua orang yang mampu menyerap nya dengan tepat dan bijak. Mungkin ia bisa mendapatkan apa yang ia cari, tapi tetap saja yang ia dapatkan sejatinya bukanlah pengetahuan melainkan pemberitahuan. Sebab pengetahuan itu dihasilkan dari proses refleksi yang mendalam, sementara pemberitahuan hanya sekedar transfer informasi untuk memenuhi keinginan dangkal seseorang untuk mengetahui sesuatu tanpa ada refleksi & reduksi yang mendalam terhadap sesuatu.

Seringkali setelah membaca beberapa bagian di internet, ia telah mengklaim diri memiliki pengetahuan yang matang. Padahal apa yang ia klaim hanyalah secercah pengetahuan yang pincang. Dengan klaim seperti itu ia menganggap dirinya telah setara dengan para pakar spesialis di bidang tersebut. Sikap yang seperti itu tentunya cukup mengkhawatirkan ditengah-tengah pertumbuhan demokrasi & iklim politik di Indonesia tatkala pendapat para pakar kemudian disejajarkan dengan pendapat para amatiran. Ini sejenak mengingatkan kita pada peringatan simbolik dari sejarawan bernama Daniel J. Boorstin yang mengatakan dalam bukunya yang berjudul “The Image”: bahwa “Halangan terbesar menemukkan bentuk bumi, benua, dan samudera bukanlah ignoransia, melainkan ilusi pengetahuan”. “Ignoransia” adalah kekurangan pengetahuan yang perlu, yang bisa diatasi dengan pemberitahuan. Sementara ilusi pengetahuan adalah sebentuk “eror”: ia sangka ia tahu, namun ia tidak tahu bahwa ia tidak tahu.

Internet memang telah membuat kita merasa telah menemukan banyak pengetahuan, tapi tetap saja ia memiliki dampak negatif terhadap orang yang menggunakannya seperti ignoransia & ilusi pengetahuan. Kita bisa menyaksikan di media sosial seperti facebook & instagram. Ada banyak sekali muncul akun-akun pakar anonim yang tidak jelas asal muasalnya lalu dengan dibekali sedikit kemampuan menulis ia langsung mengeluarkan sabda, quotes, & kata-kata bijak yang bisa menghinopnis banyak kalangan. Anehnya, kita sering mengikuti naluri instingtif kita untuk mengafirmasi suatu informasi tanpa verifikasi. Akibatnya, kita menelan nya mentah-mentah & ikut membagikan postingan tersebut tanpa ada refleksi & verifikasi. Hal itu terjadi karena kita juga memiliki kecenderungan untuk mengafirmasi sesuatu yang sesuai, relevan & relate dengan diri kita secara subyektif.

Dengan demikian benarlah apa yg dikatakan Nichols yang menganalogikan internet dengan Hukum Sturgeon yaitu :

“90 persen dari semua hal (di dunia maya), adalah sampah.”

Kita juga ingat apa yang disampaikan Anthony Giddens dalam menjelaskan fenomena pos modern bahwa kita hidup di zaman dimana produksi informasi lebih masif ketimbang produksi manufaktur. Tentunya kita bisa membayangkan bagaimana produksi informasi dilahirkan setiap harinya lalu dikonsumsi oleh miliyaran orang disaat keterbukaan internet kian mempermulus jalan untuk berkembangnya bias informasi tanpa filter yang dapat disebar kapan saja, dimana saja & untuk siapa saja.

Sebagaimana yang dipaparkan oleh Tom Nichols bahwa ;
Internet mengizinkan satu miliar bunga mekar, namun sebagian besarnya berbau busuk, mulai dari pikiran iseng para penulis blog, teori konspirasi orang-orang aneh, hingga penyebaran informasi bohong oleh berbagai kelompok.
(hal. 130-131)

Kita bisa menganalogikan secara sederhana : Sekarang, kalau di stadion ada 50 ribu penonton sepakbola, maka sebanyak 50 ribu itu pakar sepakbola. Semua bisa bikin opini dan menyebarluaskannya. Begitu pula halnya dengan ilusi pengetahuan di Internet, semua orang punya kesempatan yang sama untuk mendapatkan akses informasi dari internet, artinya semua orang bisa menjadi pakar apa saja dengan modal smartphone & kuota. Logika ini yang pada akhirnya terbangun sebagai infrastruktur pengetahuan.

Kita tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya ketika hal ini merembet kepada hal-hal yang bersifat agama & kepercayaan. Barangkali internet mempermudah akses untuk mendakwahkan & menyiarkan ajaran-ajaran yang dianut dalam satu sisi. Akan tetapi disisi yang lain dengan keterbukaan Internet & sikap irasional kita bisa berpotensi untuk memunculkan para ustadz, kiyai, pendeta, bihara dll secara anonim tanpa sanad pengetahuan yang jelas. Anda bisa membayangkan tatkala satu fatwa dimunculkan di media sosial tanpa anda tau identitas penulis, sumber & referensi yang dimuat dalam bentuk infografis lalu anda mempercayainya tanpa keraguan serta dengan sangat antusias menjadikannya sebagai hujjah. Padahal sikap kita mestinya adalah menunggu literasi terlebih dahulu atau tabayyun terhadap sebuah informasi yang belum kita ketahui kebenarannya.

Tak jarang chaos di media sosial juga sering terjadi akibat perbedaan pendapat dimana masing-masing netizen menganggap dirinya lebih tahu dan pakar dalam bidangnya. Ada yang salah tapi tetap ngeyel, ada yang sesat tapi tetap merasa paling benar dan ada yang berbohong tapi tetap ngotot. Semua merasa pakarnya dan paling tahu dalam segala hal tanpa memperdulikan lagi mana yang benar, salah, baik, & buruk. Sebagaimana ujar Tom Nichols ;

“Ada berkelana sampai menemukan kesimpulan yang Anda tuju. Anda mengklik laman demi pembenaran, dan keliru dalam membedakan jawaban dengan kekuatan argumen.
(hal. 142)

Maka dari itu kita mesti melekatkan segenap rasionalitas dalam memanfaatkan internet secara tepat, benar & bijak. Disamping itu kita juga mesti menggunakan sikap ilmiah dalam menyerap sebuah informasi dengan verifikasi yang akurat dalam mencerna sebuah informasi yang valid. Tatkala ada jurnal kontradiktif yang mengatakan bumi itu datar & jurnal lain mengatakannya bulat atau jurnal yang menggemakan anti vaksin dengan jurnal yang menyuarakan untuk vaksin tentunya ini membutuhkan sikap ilmiah kita dalam mencernanya secara baik dan benar. Kita mesti memperkuat kesabaran kita untuk memperoleh suatu informasi yang benar ketimbang menuruti hasrat ‘dangkal’ kita dalam mengunyah informasi secara cepat tetapi malah mendapatkan kesimpulan yang mentah. Apalagi dalam membagikan sesuatu, kita mesti selektif dan verifikatif dalam mengolah informasi tersebut dari pada menyesatkan orang banyak.

Termasuk dalam menyikapi hal kepakaran. Tentunya kita mesti memiliki barometer yang jelas dalam meletakkan mana yang pakar dan mana yang bukan. Kita tentu tak bisa mensejajarkan pendapat pakar dengan pendapat amatiran agar bias informasi tidak terus menerus bertebaran di media sosial. Jika tidak demikian, maka jelaslah bahwa kita sedang berjalan untuk membunuh eksistensi para pakar secara perlahan-lahan. Mari selamatkan peradaban dari sampah-sampah yang berserakan di dunia maya demi tercapainya masa depan peradaban yang gemilang. (*)