JEPARA, kompas86id.com – Di tengah hamparan sawah yang menjadi denyut nadi kehidupan masyarakat Desa Kecapi, terdapat sebuah bendungan yang selama bertahun-tahun menjadi penopang utama sektor pertanian dan sumber air bagi warga. Namun, seiring waktu, Bendungan Sebumbung mengalami kerusakan fungsi yang cukup serius, mengancam ketahanan pangan lokal dan kelangsungan hidup masyarakat. pada Kamis, (15/5/2025).
Bendungan Sebumbung kini mengalami pendangkalan dan penyempitan yang cukup parah. Permukaan air yang dulu jernih dan mengalir lancar, kini nyaris tertutup oleh tanaman air liar bernama Rembulung. Tanaman ini tumbuh dengan sangat cepat dan merajalela di seluruh permukaan bendungan, menghambat aliran air, dan memperkecil volume tampungan. Tanpa upaya perawatan yang memadai, kondisi ini terus memburuk dari tahun ke tahun.
Kerusakan ini tak hanya berdampak pada ekosistem air, tetapi juga menurunkan kapasitas irigasi secara drastis. Jika sebelumnya bendungan mampu mengairi lebih dari 40 hektar sawah, saat ini hanya sekitar 10 hektar lahan yang terlayani secara optimal. Dan lebih menyedihkan lagi, di musim kemarau, air hanya cukup untuk mengairi sekitar 5 hektare saja. Hal ini tentu menjadi pukulan berat bagi para petani yang menggantungkan hidupnya pada hasil panen.
Penurunan kapasitas air berdampak langsung pada hasil pertanian. Musim tanam menjadi tidak pasti, produktivitas turun, dan biaya operasional meningkat karena petani harus mencari sumber air alternatif. Harga produksi yang naik tidak selalu diiringi dengan harga jual yang sepadan, sehingga banyak petani mengalami kerugian.
Di sisi lain, kekeringan yang melanda sumur-sumur warga saat kemarau turut memperburuk situasi. Tak sedikit warga yang harus berjalan jauh atau membeli air bersih demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Masalah air ini perlahan-lahan menggerus kesejahteraan, memperbesar kesenjangan, dan menurunkan kualitas hidup masyarakat.
Melihat kondisi tersebut, normalisasi Bendungan Sebumbung menjadi langkah yang tidak bisa ditunda. Normalisasi bukan sekadar proyek teknis, melainkan upaya menyelamatkan masa depan pertanian dan kehidupan desa. Rencana ini mencakup pengerukan lumpur dan tanaman liar, pelebaran area tampung air, hingga perbaikan saluran irigasi yang terhubung dengan lahan pertanian.
Dengan normalisasi, diharapkan kapasitas bendungan tidak hanya kembali seperti semula, tetapi juga meningkat. Targetnya, bendungan ini mampu mengairi hingga 40 hektare sawah dan memungkinkan petani meningkatkan indeks pertanaman (IP) dari satu kali tanam menjadi dua atau bahkan tiga kali dalam setahun. Ini berarti peningkatan hasil pertanian, lapangan kerja yang lebih luas, dan pendapatan yang lebih stabil.
Bendungan Sebumbung juga memiliki potensi lain di luar pertanian. Jika dikelola dengan baik, bendungan ini bisa menjadi sumber air alternatif yang andal di musim kering, menjaga debit air sumur warga dan mendukung peternakan lokal. Selain itu, masyarakat dan Pemerintah Desa melihat peluang menjadikan kawasan ini sebagai destinasi wisata lokal.
Dengan penataan lingkungan yang tepat, bendungan dapat dimanfaatkan sebagai tempat pemancingan, wisata keluarga, dan edukasi lingkungan. Ini membuka peluang ekonomi baru, seperti warung makan, hingga pengelolaan kolam ikan air tawar yang bisa menambah asupan gizi sekaligus pendapatan warga.
Tingginya aspirasi masyarakat ini akhirnya mendapat respons dari Satgas Tentara Manunggal Membangun Desa (TMMD). Setelah menerima laporan dari warga dan kelompok tani, Pasiter Kodim 0719 / Jepara, Kapten Inf Ngadino langsung melakukan koordinasi dengan Dandim Letkol Arm Khoirul Cahyadi. S. E., dan mengajukan permohonan dukungan teknis ke Pemerintah Daerah. Dinas PUPR pun bersedia mengerahkan alat berat, termasuk ekskavator, untuk percepatan pengerjaan.
Normalisasi ini bukan pekerjaan satu pihak. TMMD hadir sebagai fasilitator, tetapi keberhasilan proyek ini sangat bergantung pada partisipasi aktif warga. Pemerintah Desa menjadi koordinator lokal, sementara kelompok tani, karang taruna, tokoh masyarakat, dan warga umum terlibat dalam pengawasan, logistik, hingga kerja bakti di lapangan.
Sinergi lintas sektor ini diharapkan menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab bersama terhadap aset penting desa. Jika semangat gotong royong tetap terjaga, bukan tidak mungkin keberhasilan ini bisa menjadi model bagi desa-desa lain yang mengalami persoalan serupa.
Bagi masyarakat Desa Kecapi, bendungan ini bukan hanya sekadar waduk air. Ia adalah simbol harapan, sumber kehidupan, dan masa depan desa. Mereka percaya bahwa dengan normalisasi yang dilakukan secara cepat dan menyeluruh, pertanian akan hidup kembali, roda ekonomi bergerak, dan kesejahteraan masyarakat meningkat.
Lebih dari itu, normalisasi Bendungan Sebumbung adalah cermin dari kepedulian bersama—antara rakyat, pemerintah, dan TNI—untuk membangun desa dari akar yang paling mendasar: air. Sebab di sanalah kehidupan bermula.
Reporter: Rud
Editor: Dadang Kling