
Proyek yang dikabarkan menghabiskan anggaran hingga Rp198.206.121,97 ini disinyalir tidak sesuai dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB) dan minim pengawasan dari pihak terkait.
Dugaan tersebut mencuat setelah tim awak media memantau langsung pelaksanaan proyek di lapangan dan menemukan sejumlah ketidaksesuaian, terutama pada penggunaan material bangunan. Beberapa bahan seperti besi dan paralon disebut tidak sesuai dengan spesifikasi yang seharusnya.
Salah satu pekerja yang mengaku sebagai tukang, Sutono, saat ditemui di lokasi mengatakan pihaknya telah bekerja selama sekitar 20 hari sejak awal pembangunan.
“Kami bekerja sudah 20 hari dimulai dari titik nol, Pak. Diawal jumlah pekerja 9 orang hanya bekerja selama 15 hari, Pak. Itupun kebanyakan orang menurut saya malah ribet karena ini pekerjaan finishing. Jadi kita kerja hanya 3 orang,” ungkap Sutono, Sabtu (25/10/2025).
Ia juga menjelaskan struktur tenaga kerja dan upah harian yang diberikan kepada tukang dan kuli.
“Karena kepala tukang bukan saya melainkan Pak Kotib, dia orang Sukaraja, Pak. Kami kerja diawal 9 orang selama 15 hari waktu minggu kemarin, dengan 4 tukang lalu kulinya 5 orang. Untuk besaran gaji tukang Rp150.000, sedang gaji kuli Rp100.000,” beber Sutono.
Lebih lanjut, Sutono menyebut ukuran bangunan tersebut sekitar 7 x 4 meter, dengan cincin berukuran 6 (kes) dan besi ukuran 10 (kes).
“Bisa dipastikan dan dijamin, Pak,” katanya.
Namun, hasil pantauan di lapangan menunjukkan bahwa besi yang digunakan berbeda dari pengakuan tersebut. Ditemukan besi cincin ukuran 4 (kes) dan besi utama ukuran 8 (kes). Saat dikonfirmasi, pekerja di lokasi tidak menampik hal itu.
“Kalau untuk besi saya kurang paham, Pak. Setahu saya itu besi 10 dan 6, soalnya bukan saya yang belanja,” ucapnya.

Selain itu, jumlah pekerja di lapangan juga menjadi sorotan. Meskipun disebutkan ada sembilan orang pekerja, tim media hanya mendapati tiga orang yang aktif bekerja saat melakukan tiga kali kunjungan ke lokasi proyek. Hal ini menimbulkan dugaan adanya ketidakwajaran dalam penggunaan anggaran upah dan kemungkinan mark-up.
Salah seorang warga Desa Mekar Mulya yang enggan disebutkan namanya juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap pelaksanaan proyek tersebut.
“Melihat progres hasil pekerjaan proyek itu, saya rasa tidak sepadan dengan nominal anggaran yang telah dikucurkan pemerintah. Kalau hanya membangun toilet seperti itu, tidak harus Rp198 juta sudah cukup,” ujarnya.
Ia menilai proyek tersebut sebagai bentuk pembiaran dan lemahnya pengawasan dari pihak terkait.
“Ini bukan hanya soal buruknya hasil kerja, tapi soal mental pemborong. Mereka enak mengantongi untung besar dari dana negara dengan memakai material besi yang tidak sesuai ukuran, apalagi paralon kelihatan yang murahan,” ungkapnya.
Warga itu juga menilai pihak pengawas dan dinas terkait seolah tutup mata terhadap pelaksanaan proyek yang dinilai jauh dari standar kualitas.
“Kontraktor seperti ini tidak layak lagi diberi kepercayaan. Harus ada tindakan tegas. Audit pekerjaan, buka ke publik, dan jika terbukti ada penyelewengan, proses secara hukum,” tandasnya.
(*)
